Langsung ke konten utama

[Catatan Perjalanan] Mendaki Papandayan: surga kecil di Garut (bag dua:selesai)

Warung si Emak 
Kami sampai di Camp David sekitar jam 11 siang. Mampir di warung emak (entah siapa nama aslinya) untuk bersantap siang dulu, tambah asupan tenaga buat ke atas. Pilihan kami berempat tidak jauh berbeda, nasi, telor dadar dan mie. Lho kok ada mie? katanya ga sehat? yuupp..cuaca yang dingin dan kelaparan, ternyata menyulap Indomie ayam bawang, seperti Megan Fox sedang manyuun...sangat mengoda! Iman kami tak cukup kuat. Tapi setidaknya kami tidak makan mie ketika di atas gunung. #pembenaran . 

Kawah Papandayan
Sekitar 10 menit berjalan dari Camp David, kita akan berjalan melewati kawah Papandayan. Ada dua jalur, pilihlah jalur kanan, ini jalur yang umum di lewati pendaki. Ketika musim kering, asap yang keluar dari gelembung kawah tidak banyak, tetapi jiga musim hujan seperti sekarang, asap membumbung tebal, tebakan saya karena volume air yang terdidihkan meningkat produksi uap juga meningkat. *sok pinter* 
Oya, jangan lupa, kita akan berjalan tepat disamping kawah, dengan aroma belerang menyengat, jangan lupa siapakan masker, dan air. Mencuci hidung dan mata, akan sangat membantu mengurangi sesak. Ini prosedur keselamatan standar, dalam perjalanan terakir ini saya menemukan satu orang anak yang tak sadarkan diri setelah menghirup terlalu banyak asap belerang. 


Jalur TOLL
Setelah melewati kawah, kita akan menumukan lembah. Nah, karena letusan 2007 kalo tidak salah jalur asli terputus, jadi kita harus ambil belok kanan. Jalurnya menjadi lebih menantang, jalan setapak penuh dengan cantigi serta sungai kecil akan kita lewati. Tapi jangan kaget, kalo sesekali waktu, kita harus memberi jalan pada motor petani sayur yang lewat. Motor? yup..secara umum track Papandayan adalah track wisata, cocok untuk pemula, motor dengan sedikit modifikasi juga bisa melaluinya. Sedikit aneh memang, naek gunung tapi gantian jalur ama motor. 


Pondok Saladah

Akhirnya sampai juga di Pondok Saladah. Pondok saladah adalah area camping resmi yang di izinkan, walaupun banyak juga yang nyolong ngecamp di Tegal Alun. hehe. Perjalanannya ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan, pertama kesini, dengan mengajak ade2 (maap y), saya butuh hampir 4 jam, dan sekarang hanya butuh 1 jam 20 menit. Eeebussengg. 
Sekitar jam 1 siang kami sampai, suasana di Pondok Saladah lebih mirip pasar, ratusan orang sudah memenuhi lapak2 tenda. Berpikir singkat, kami memutuskan untuk mendirikan tenda juga, sebelum terjebak hujan. 

Aktifitas utama: gaple.

Mulai adem

Sayur Soap

Wortel senyum 
Tenda berdiri. Aktifitas selanjutnya, maen gaple. *sungguh bijak*. Kabut perlahan turun, diikuti dengan hujan, semua aktifitas akhirnya di pindahkan ke dalam tenda, termasuk memasak. Sore itu kita memasak sayur sop, hasil belanja pagi di pasar, lengkap dengan tempe tahu. Memasak adalah aktifitas menyenangkan, dan metode team building yang bagus, karena bukan hanya soal seberapa cepat makanan bisa masak tetapi juga soal seberapa enak makanan melewati mulut. Ini butuh kerjasama dan saling pengertian, mengingat beda lidah beda rasa.
Selesai masak, makan pedas, hujan makin deras. Rencanan menghabiskan malam bermain api pun kandas. Hujan dan kekenyanyan adalah kombinasi sempurna untuk meuju step berikutnya: ketiduran. 


Kawah tampak dari Pondok Saladah
Sekitar jam setengah 6 pagi, lumayan dingin. Tapi masih lebih hangat dibanding dingin hati *okesip*. Setelah menghabisakan beberapa waktu nyela' tetangga tenda yang hujan-hujanan demi main api, kita bikin sarapan bubur sehat. Bubur instan tepatnya. 
Dari pondok saladah. tujuan berikutnya adalah Tegal Alun, padang terakhir sebelum puncak Papandayan. Selesai bersantap pagi, dengan roti bakar dan bubur, kita melanjutkan perjalanan ke atas, jam 7 kita berangkat. Semua barang-barang kami tinggal di Pondok Saladah. 


Hutan Mati

Sekitar 5 menit dari Pondok Saladah, kita akan melewati pohon-pohon kering yang sudah menghitam. Kata orang, pohon-pohon ini adalah sisa letusan Papandayan beberapa tahun sebelumnya. Hutan mati ini sangat eksotis untuk dijadikan backgroud foto, dengan tanah berpasir putihnya. Mirip dengan pemandangan di Kawah putih Ciwidey. 
Perjalanan dari Pondok Sladah ke Tegal Alun pada dasarnya sebentar, untuk yang terbiasa mendaki, butuh waktu sekitar 30-45 menit, untuk yang tidak mungkin sekitar 1-2 jam. Kami butuh sekitar 25 menit. Tracknya juga terhitung biasa, hanya satu tanjakan "cinta" tepat setelah hutan mati dan sebelum Tegal Alun. Meski sudah kedua kalinya saya ke Papandayan, tetapi, perjalanan melewati tanjakan cinta, dan rimbun Cantigi selalu berakhir dengan "wow" ketiga sampai di bibir Tegal Alun.  Hamparan padang edelweis nan luas, sungguh eksotis. 






Wooow..nyaman sekali mata ini. Seakan lupa semua luka yang dibawa, entah jatuh dimana itu luka, tak terasa. Terakhir ke Papandayan saya ngecamp di Tegal Alun, bermalam disini jauh lebih dingin dibanding di pondok Saladah, juga susah air. Tetapi, pagi hari bukan tenda luarbiasa indahnya, semburat kuning matahari memantul di antara tangkai rumput, dan harum embun membuat hati terasa tenang. 
Menghabiskan waktu sekitar 2,5 jam di Tegal Alun sangat jauh dari cukup, pengenya 2 hari paling tidak. :) Setelah menghabiskan beberpa gelas teh Tongji dan roti bakar, kami memutuskan untuk segera turun. Bukan apa2, pagi itu ada sekitar 120 orang rombongan stapala ditambah sekitar 20 orang rombongan mapala dari universitas Bakrie (klo g salah) kit harus turun sebelum mereka, bisa dibayangkan kaya gimana macetnya jalur kalo berada dibelakang mereka.hahaha. 
Beruntung kami segara turun, karena baru selesai melewati hutan mati, hujan mulai turun. 


Kawah Papandayn tampak dari Boulevard

Jalur Licin sesudah hujan

Hujan turun cukup lama, sekitar jam 12 hujan reda, kami bergegas packing untuk turun. Tidak mau terjebak hujan berikutnya, dan juga tidak mau sampai jakarta terlalu malam. Butuh sekitar satu jam, untuk turun dari pondok saladah sampai di Camp David. Tepat, sampai camap david hujan turun sangat deras, sambil minum teh kita saling berbincang dengan sesama pendaki, bermaksud hati mencari rekan buat tambahan sewa mobil bak. Rata-rata biaya per orang sekitar 10 ribu, jika sedikit orang bisa sampai 20 ribu perorang untuk transport dari camp david ke Cisurupan. 
Kami membayar 10 ribu/orang sampai di Cisurupan, dari Cisurupan naek angkot Cikajang 7 ribu/orang sampai terminal Garut. 
Mendaki papandayan sangat cocok untuk aktifitas pendakian wisata, bersma keluarga atau teman-teman dekat, tidak perlu pengalaman pendakian, yang enting peralatan mencukupi. Jika kamu punya novel yang tak kunjung selesai di baca, sangat direkomendasikan menikmati pendakian Papandayan, dan menghabiskan lembar novel diantara gemerisik cantigi.  


Papandayan 17-18 november 2012. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Minum teh di Rusia

Got dark. On a table, shining, The evening samovar hissed, The Chinese teapot heating up, Under it curled easy pairs … (Aleksander Pushkin)            Teh atau dalam bahasa ilmiah Camellia sinensis telah dikonsumsi oleh bangsa Cina lebih dari 5000 tahun. Selama ribuan tahun, bangsa China meminum teh untuk kesehatan dan kenikmatan. Tidak seorangpun tahu apa yang menyebabkan mereka tertarik dengan daun hijau serta mengkilap itu, tetapi legenda populer dapat memberi pengetahuan kepada kita. Asal mula teh pada awalnya masih merupakan legenda . Legenda yang paling terkenal adalah cerita tentang Kaisar Shen Nung, diperkirakan sekitar tahun 2737 sebelum Masehi. Menurut legenda pada suatu hari, ketika Kaisar Shen Nung akan mengambil air mendidih, beberapa daun dari pohon yang menjuntai tertiup angin dan jatuh di panci berisi air mendidih tersebut, Sang Kaisar ingin tahu dan memutuskan untuk mencicipi air rebusan yang tidak menyerupai minuman tersebut....

Hidup adalah Pertaruhan, beranikah kamu bertaruh untukku?

Sebagai manusia kita tentu pernah pada sebuah posisi sulit, pada proses pencarian tak berujung. Terkadang kita bertanya-tanya, kemana hidup akan membawa kita pergi, apakah ketempat harapan bersandar ataukah ke peraduan bersemayamnya kekecewaan dan cobaan. Jawabanya: tidak ada yang tahu. Satu-satunya yang pasti di dunia ini hanyalah bahwa kita akan mati, selebihnya tidak ada yang tahu.  Beruntungnya Tuhan memberikan kemampuan untuk "tahu" apa yang kita sukai, yakini atau cintai. Apakah sesuatu yang kita yakini atau seseorang yang kita cintai itu merupakan ujung pintu takdir; tidak ada yang tahu. Hidup adalah pertaruhan, karena kita tidak pernah tahu kemana takdir akan mengantarkan kita.  Kadang kita ditantang untuk melihat kebelakang saat seolah-olah didepan kita dihadang tembok tinggi kemustahilan, saat seolah-olah dunia memusuhi kita atau saat seolah-olah hanya kita yang bergelut dengan kenyataan. Hanya satu yang bisa saya katakan: jangan takut. Kegagalan, kekecewa...